Senin, 10 Agustus 2015

Mengenal Arsitektur Candi di Indonesia



          Bangunan candi merupakan salah satu bentuk-bentuk simbol yang dipilih manusia sebagai media untuk dapat berkomunikasi dengan Tuhan yang bermanifestasi dalam wujud dewa-dewa. Menurut pandangan manusia, dewa-dewa bertempat tinggal di gunung bersama dengan roh nenek moyang, maka penggambaran candi yang berfungsi sebagai media pemujaan dibuat menyerupai gunung yaitu gunung meru sebagai simbol makro kosmos.Dalam penggambaran arsitektur candi dibuat mendekati bentuk gunung meru.Bangunan dihiasi dengan berbagai ukiran dan pahatan yang disesuaikan dengan gunung meru.Bangunan dihiasi dengan berbagai ukiran dan pahatan yang disesuaikan dengan keadaan gunung meru. Misalnya: bunga teratai, makhluk-makhluk khayangan, para penari dan penabuh gamelan. 

 
        Sebagai simbol makro kosmos bangunan candi dibagi menjadi tiga bagian.Menurut konsep Hindu, ketiga bagian tersebut sebagai simbol Triloka yang merupakan alam semesta, yaitu kaki candi melambangkan Bhurloka atau dunia tempat manusia berpijak.Tubuh candi melambangkan Bhurwarloka atau dunia tempat manusia telah mencapai kesucian dan kesempurnaan.Sehingga dapat berhadapan dengan dewa dan roh nenek moyang yang dipuja.  Atap candi melambangkan Swarloka atau dunia tempat tinggal para dewa dan tempat tinggal roh nenek moyang (Soekmono: 1993), seperti gambar berikut:
Gambar Bagian-bagian Candi


          Sebagai bangunan, candi tidak terlepas dari gaya seni dan rancang bangun suatu arsitektur. Menurut kamus besar Bahasa  Indonesia, arsitektur dapat diartikan sebagai “seni dan ilmu merancang serta membuat konstruksi bangunan”. Arsitektur juga dapat diartikan sebagai metode dan gaya perancangan suatu bangunan. Sedang bangunan sendiri mempunyai pengertian sesuatu yang didirikan  (Tim, PPPBI:49). Dari uraian di muka dapat diambil satu pengertian istilah arsitektur, yaitu seni bangunan yang terkait dengan perancangan dan konstruksi bangunan yang menggunakan metode-metode untuk diterapkan pada bangunan yang didirikan.Dengan adanya uraian dari pengertian arsitektur, seperti yang telah dijelaskan diatas, maka dapat diketahui dalam hubungan apa istilah arsitektur digunakan.Berikut arsitektur candi yang ada di Indonesia, didasarkan perodisasi.

  • Arsitektur Candi Majapahit Abad XIV – XV
               Candi-candi yang dibangun pada masa Majapahit mempunyai jumlah yang relatif banyak dan tersebar di berbagai wilayah di Jawa Timur.Pembangunan candi-candi itu dilakukan pada masa yang berbeda-beda, yaitu pada masa awal kerajaan Majapahit, pertengahan dan akhir kerajaan Majapahit. Candi-candi yang dibangun pada masa kerajaan Majapahit mempunyai bentuk arsitektur yang berbeda-beda.  Adanya perbedaan gaya arsitektur candi dalam masa yang sama, disebabkan adanya beberapa candi yang dibangun pada masa ini masih melanjutkan gaya arsitektur candi dari masa sebelumnya, yaitu dari masa Singasari antara lain gaya Kidal dan gaya Jago (Hardjowardoyo,1981).

          Dari bukti arsitektur bangunan candi dapat diperkirakan bahwa gaya Kidal dan gaya jago ini berkembang pada awal kerajaan Majapahit kemudian masa Majapahit akhir muncul arsitektur bangunan sakral yang mempunyai bentuk arsitektur tersendiri. Arsitektur ini kurang sesuai apabila dimasukkan ke dalam gaya arsitektur candi yang telah disebutkan di atas.  Arsitektur bangunan tersebut adalah berundak-undak dan banyak didirikan di puncak-puncak dan lereng-lereng gunung.

          Ditinjau dari segi arsitekturnya bangunan candi pada masa Majapahit secara lengkap memiliki 3 bagian pokok, yaitu kaki, badan, dan atap candi.Disamping itu terdapat juga bangunan candi yang bisa disaksikan sekarang, berupa batur dengan atau tanpa umpak.Ketidaklengkapan ini kemungkinan bahan yang digunakan mudah rusak, misalnya kayu sebagai konstruksi utama dari bangunan tersebut dengan menggunakan tiang penyangga yang diletakkan di atas umpak, kemudian atap diperkirakan terbuat dari ijuk (Hariani Santiko, 1989). Ciri-ciri bangunan yang menggunakan konstruksi kayu adalah:
  •        *        Tiang-tiang bangunan penyangga atap adalah relatif kecil dan jarak                               tiang lebih besar.
  •        *        Lubang-lubang pintu dan jendela relatif besar.
  •        *        Bentuk-bentuk atap limasan dan tajuk yang sifatnya ringan.
  •        *        Tampak bangunan memberi kesan ringan
(Atmadi, 1979)
         Berdasarkan relief bangunan candi dan uraian di atas, diperkirakan bangunan berkonstruksi kayu tersebut mengalami perjalanan panjang dari jaman Jawa Tengah dan berlanjut mempengaruhi arsitektur masa Jawa Timur dan arsitektur Bali.
Pengelompokkan candi masa Majapahit yang dilakukan oleh Hariani Santiko, Berdasarkan gayaarsitekturnya dibagi menjadi 2 tipe yaitu:
1. Tipe A adalah bangunan yang memiliki kelengkapan ketiga bagian candi, antara lain kaki, badan dan atap candi.
2. Tipe B adalah bangunan yang tidak memiliki ketiga bagian tersebut, yaitu kaki, badan dan atap candi (Hariani Santiko, 1989).

Bangunan candi tipe A masih melanjutkan gaya arsitektur masa Singasari yang disebut dengan gaya Kidal yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Bangunan candi didirikan bergeser kea rah utara dari titik pusat halaman (Brahmasthana) yang terletak di sudut pipi tangga sebelah selatan.
b. Bangunan candi terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan dan atap candi. Atap candi agak memanjang ke atas yang mengakibatkan percandian di Jawa Timur tampak ramping.
c. Tingkatan-tingkatan atap candi tidak tampak jelas, kemudian diberi kemuncak berupa kubus yang sedikit memanjang ke atas. (Hardjowardojo, 1981).

Kemudian tipe B, masih dibagi lagi yaitu B1 dan B2. Bangunan tipe B1 melanjutkan arsitekturgaya Jago dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Kaki candi berbentuk teras berundak dan menjorok ke belakang, jumlah teras 1,3 dan 4 dengan denah persegi panjang.
b. Tubuh candi pada hakekatnya merupakan bagian atap, dimana bilik utama (garbhrha) didirikan di bagian tengah agak bergeser ke belakang pada denah dasar.
c. Bagian atap sudah tidak dijumpai lagi (Hardjowardojo, 1981).

                 Tidak terdapatnya atap candi ini, diperkirakan atap terbuat dari bahan yang mudah rusak, misalnya kayu atau ijuk.Atap candi diduga berbentuk tumpang, seperti atap meru di Bali.Perkiraan ini berdasarkan relief yang dipahatkan di dinding tingkat ketiga kaki candi Jago, yaitu relief bangunan yang mempunyai atap tumpang (Kempres, 1959).

        Candi mempunyai arsitekturgaya Kidal dan gaya Jago ini masih tetap didirikan pada masa selanjutnya, yaitu pada masa Majapahit. Sedang bangunan tipe B2 adalah bangunan punden berundak di kepurbakalaan gunung penanggungan (Hariani Santiko, 1989).
 
  • Arsitektur Masa Majapahit Awal (Abad XIV)
   Candi-candi yang didirikan pada masa Majapahit, masih melanjutkan dari masa Singasari yaitu gaya Jago dan gaya Kidal.
    Candi-candi masa Majapahit yang masih melanjutkan gaya Jago adalah:
    Candi Induk Penataran (1347 M)
    Candi Nrimbi (1370 M)
    Candi Tegawangi (1370 M)
    Candi Surawana (1390 M)

  • Kemudian candi-candi masa Majapahit yang termasuk dalam gaya Kidal adalah:
Candi Kali Cilik (1349 M)
Candi Ngetos (1350 M)
Candi Pare (1371 M)
  • Berdasarkan data arsitektur candi pada masa Majapahit, juga terdapat candi yang berarsitektur yang tidak dapat dimasukkan ke dalam gaya Jago ataupun gaya Kidal, yang disebut gaya Brahu. Ciri-ciri arsitektur candi tersebut menurut Munandar (1992) adalah sebagai berikut:
a. Kaki candi berteras dalam beberapa undakan (biasanya tingkat tiga)
b.Tubuh yang membentuk bilik candi didirikan di bagian belakang denahnya, bentuk dasarnya persegi panjang
c.Atap candi terbuat dari bahan yang sama dengan bahan pembuatan candinya
  • Candi-candi yang mempunyai ciri-ciri arsitekturgaya Brahu adalah:
a. Candi Jabung (1350 M)
b. Candi Brahu (1354 M)
c. Candi Gununggangsir (1375 M)
Dari uraian diatas dapat diketahui, pada masa Majapahit awal berkembang tiga gayaarsitektur yaitu: gaya Jago, Kidal dan Brahu.

Arsitektur Majapahit Akhir (Akhir abad XIV – XV)
        Pada masa Majapahit muncul arsitektur bangunan sakral yang tidak lagi berorientasi ke arah mata angin (orientasi kosmis), melainkan kea lam (orientasi chtonis). Bangunan-bangunan tersebut didirikan di gunung-gunung dengan orientasi ke puncak gunung, bangunan tersebut berlatar belakang agama hindu. Tetapi ungkapan arsitekturnya mencerminkan ciri-ciri bangunan prasejarah, yaitu mengambil bentuk punden berundak.
Menurut Tjahjono (1992) gejala perubahan orientasi ini sebenarnya sudah muncul sekitar abad XIV M.Hal ini ditandai dengan adanya ciri-ciri bangunan yang tidak konsentris, melainkan ditarik ke belakang dengan bangunan induknya terletak pada bagian paling belakang. Contoh: candi Penataran.
        Berdasarkan arsitekturnya menurut Santiko (1992) bangunan suci yang muncul pada masa Majapahit akhir dikelompokkan ke dalam tipe B2. Arsitektur candi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.     Bentuk bangunan candi teras bertingkat dan mempunyai dinding satu sisi, karena umumnya dibangun pada kemiringan lereng gunung.
2.     Jumlah teras 1 sampai dengan 4, ditambah batur rendah.
3.     Tidak mempunyai bilik candi dan tidak memiliki atap bangunan
4.     Bagian yang dianggap paling suci terletak di teras paling atas, hal tersebut ditandai oleh adanya altar berjumlah tiga buah
         Menurut Munandar (1992)  yang termasuk ke dalam gaya arsitektur punden berundak adalah :
1.     Candi Ceto
2.     Candi Sukuh
3.     Peninggalan Purbakala di kompleks Gunung Penanggungan

          Berkembangnya bentuk arsitektur pundek berundak pada bangunan sakral dalam masa Majapahit akhir dilator belakangi oleh munculnya kembali unsur-unsur Indonesia asli yang semakin kuat, antara lain konsep pemujaan dari kosmis ke chotnis (Romondt: 1951). Perubahan konsep tersebut menjadi dasar kepercayaan bahwa dewa-dewa yang tadinya dibayangkan tinggal di surga, telah berupa anggapan, yaitu para dewa dianggap tinggal bersama dengan roh nenek moyang di puncak gunung (Atmodjo: 1983) sumber: Dinas Purbakala. (RNS)

0 komentar:

Posting Komentar