Senin, 10 Agustus 2015

Kesetiaan di Cerita Panji Relief Candi Penataran




sumber foto (internet)

Candi Penataran merupakan satu- satunya komplek percandian terbesar yang terdapat di Jawa Timur.Sebagai suaka budaya yang dilindungi undang-undang, candi Penataran tergolong monument mati artinya tidak ada kaitanya lagi dengan agama atau kepercayaan yang hidup dewasa ini. Bangunan percandian tidak lagi berfungsi sebagaimana sewaktu dibangun semula. Candi tidak lagi tempat untuk ibadah dan juga bukan tempat samadi atau meditasi.

Candi Penataran terdaftar dalam laporan Dinas Purbakala tahun 1914-1915 nomor 2045 dan catatan Verbeek nomor 563. Menurut catatan bangunan kekunaan candi Penataran menempati areal tanah seluas 12.946 m2 berjajar dari barat laut ke timur kemudian berlanjut ke tenggara. Komplek percandian Penataran dibagi menjadi tiga bagian berturut-turut : halaman A untuk halaman I, halaman B untuk halaman II dan halaman C untuk halaman III. Pembagian halaman komplek percandian menjadi tiga bagian adalah berakar dari nenek moyang kita. Susunan komplek percandian Penataran memang menarik karena letak bangunan yang satu dengan lainnya berhadap-hadapan terus ke belakang yang sepintas kelihatanya agak membingungkan.Susunan bangunan mirip dengan susunan pura di Pulau Bali.

Seperti sejumlah bangunan purbakal di Jawa Timur dindingnya berpahatkan relief-relief cerita dalam kombinasi berbagai ragam hias indah dan menarik. Relief-relief tersebut dipahatkan pada bangun-bangunan yang dibuat dari bahan batu keras.Di komplek percandian Penataran relief-relief dipahatkan pada dinding candi, pada bagian belakang arca dwaraphala dan juga pada dinding kolam. Beberapa relief-relief di komplek percandian Penataran yang telah diketahui jalan ceritanya diantaranya: Panji Inu Kertapati, Bubhuksah dan Gagang Aking, Sri Tanjung, Sang Setyawan, Kura-kura yang Sombong dan Kancil, Lembu dan Buaya.Relief kisah “Sri Tanjung” bisa ditemui pada dinding sisi barat kemudian terus berlanjut pada dinding sisi selatan pada bangunan teras pendopo. Urutanya dimulai dari dinding sebelah kanan tangga masuk sebelah selatan. Tersebutlah seorang ksataria bernama Sidapaksa yang memiliki istri setia yang cantik jelita bernama Sri Tanjung . Sidapaksa mengabdi kepada raja Sulakrama di negeri Sindureja. Diam-diam sang Raja menaruh hati kepada Sri Tanjung yang cantik itu.

Oleh karenanya ia menyusun siasat untuk memisahkan Sri Tanjung dari suaminya demi memiliki sang pujaan hati. Ia mengirim Sidapaksa untuk menemui para dewa di swargaloka dengan membawa surat yang bertuliskan “Pembawa surat ini akan menyerang Swargaloka” akibatnya Sidapaksa babakbelur dipukuli oleh para dewa beruntun, pada akhirnya para dewa mengetahui bahwa Sidapaksa adalah keturunan Pandawa, sehingga dia diampuni. Ketika Sidapaksa kembali ke kerajaan, ia mendapati bahwa istrinya sedang berpelukan dengan raja Sulakrama, dengan liciknya raja Sulakrama malah balik menuduh bahwa Sri Tanjunglah yang telah menggoda untuk berbuat zina. Karena tidak bisa merendam amarah, Sidapaksa menikam istrinya dengan keras hingga keris. Namun keanehan terjadi, dimana dari luka tusukan tersebut tidak mengalir darah segar, melainkan air yang berbau sangat harum. Sidapaksa menjadi tersadar bahwa itu adalah suatu pertanda bahwa istrinya tidak bersalah. Dengan penuh penyesalan Sidapaksa menangisi dan menciumi jasad istrinya itu.

Melihat kejadian mengharukan itu Dewi Durga dari khayangan merasa iba pada pasangan sejoli itu dan memutuskan untuk menghidupkan kembali Sri Tanjung. Sidapaksa sangat berbahagia melihat istrinya hidup kembali, dan sesudah itu memutuskan untuk menghukum Raja Sulakrama atas kejahatannya itu. Dalam duel antara dua ksatria itu, Sidapaksa berhasil menewaskan raja Sulakrama. Pada akhirnya Sidapaksa dan Sri Tanjung hidup bahagia.
Kisah ini menjadi legenda terbentuknya sebuah kota di  negeri blambangan, yaitu Banyuwangi yang artinya “Air yang wangi”. Sumber: Komplek Percandian Penataran) (RNS).

0 komentar:

Posting Komentar