sumber foto (internet)
Candi Penataran merupakan satu- satunya komplek
percandian terbesar yang terdapat di Jawa Timur.Sebagai suaka budaya yang
dilindungi undang-undang, candi Penataran tergolong monument mati artinya tidak
ada kaitanya lagi dengan agama atau kepercayaan yang hidup dewasa ini. Bangunan
percandian tidak lagi berfungsi sebagaimana sewaktu dibangun semula. Candi tidak
lagi tempat untuk ibadah dan juga bukan tempat samadi atau meditasi.
Candi
Penataran terdaftar dalam laporan Dinas Purbakala tahun 1914-1915 nomor 2045
dan catatan Verbeek nomor 563. Menurut catatan bangunan kekunaan candi Penataran
menempati areal tanah seluas 12.946 m2 berjajar dari barat laut ke
timur kemudian berlanjut ke tenggara. Komplek percandian Penataran dibagi
menjadi tiga bagian berturut-turut : halaman A untuk halaman I, halaman B untuk
halaman II dan halaman C untuk halaman III. Pembagian halaman komplek percandian
menjadi tiga bagian adalah berakar dari nenek moyang kita. Susunan komplek
percandian Penataran memang menarik karena letak bangunan yang satu dengan
lainnya berhadap-hadapan terus ke belakang yang sepintas kelihatanya agak
membingungkan.Susunan bangunan mirip dengan susunan pura di Pulau Bali.
Seperti
sejumlah bangunan purbakal di Jawa Timur dindingnya berpahatkan relief-relief
cerita dalam kombinasi berbagai ragam hias indah dan menarik. Relief-relief
tersebut dipahatkan pada bangun-bangunan yang dibuat dari bahan batu keras.Di
komplek percandian Penataran relief-relief dipahatkan pada dinding candi, pada
bagian belakang arca dwaraphala dan juga pada dinding kolam. Beberapa
relief-relief di komplek percandian Penataran yang telah diketahui jalan
ceritanya diantaranya: Panji Inu Kertapati, Bubhuksah dan Gagang Aking, Sri
Tanjung, Sang Setyawan, Kura-kura yang Sombong dan Kancil, Lembu dan Buaya.Relief
kisah “Sri Tanjung” bisa ditemui pada dinding sisi barat kemudian terus
berlanjut pada dinding sisi selatan pada bangunan teras pendopo. Urutanya
dimulai dari dinding sebelah kanan tangga masuk sebelah selatan. Tersebutlah
seorang ksataria bernama Sidapaksa yang memiliki istri setia yang cantik jelita
bernama Sri Tanjung . Sidapaksa mengabdi kepada raja Sulakrama di negeri
Sindureja. Diam-diam sang Raja menaruh hati kepada Sri Tanjung yang cantik itu.
Oleh karenanya ia menyusun siasat untuk memisahkan Sri Tanjung dari suaminya
demi memiliki sang pujaan hati. Ia mengirim Sidapaksa untuk menemui para dewa
di swargaloka dengan membawa surat yang bertuliskan “Pembawa surat ini akan
menyerang Swargaloka” akibatnya Sidapaksa babakbelur dipukuli oleh para dewa
beruntun, pada akhirnya para dewa mengetahui bahwa Sidapaksa adalah keturunan
Pandawa, sehingga dia diampuni. Ketika Sidapaksa kembali ke kerajaan, ia
mendapati bahwa istrinya sedang berpelukan dengan raja Sulakrama, dengan
liciknya raja Sulakrama malah balik menuduh bahwa Sri Tanjunglah yang telah
menggoda untuk berbuat zina. Karena tidak bisa merendam amarah, Sidapaksa
menikam istrinya dengan keras hingga keris. Namun keanehan terjadi, dimana dari
luka tusukan tersebut tidak mengalir darah segar, melainkan air yang berbau
sangat harum. Sidapaksa menjadi tersadar bahwa itu adalah suatu pertanda bahwa
istrinya tidak bersalah. Dengan penuh penyesalan Sidapaksa menangisi dan
menciumi jasad istrinya itu.
Melihat kejadian mengharukan itu Dewi Durga dari
khayangan merasa iba pada pasangan sejoli itu dan memutuskan untuk menghidupkan
kembali Sri Tanjung. Sidapaksa sangat berbahagia melihat istrinya hidup kembali,
dan sesudah itu memutuskan untuk menghukum Raja Sulakrama atas kejahatannya
itu. Dalam duel antara dua ksatria itu, Sidapaksa berhasil menewaskan raja
Sulakrama. Pada akhirnya Sidapaksa dan Sri Tanjung hidup bahagia.
Kisah ini menjadi
legenda terbentuknya sebuah kota di
negeri blambangan, yaitu Banyuwangi yang artinya “Air yang wangi”.
Sumber: Komplek Percandian Penataran) (RNS).
0 komentar:
Posting Komentar