Senin, 10 Agustus 2015

Desa Krisik Antara Toleransi Antar Umat dan Wisata.



Desa Krisik Kecamatan Gandusari Kabupaten Blitar terletak sekitar 12 km dari ibukota kecamatan dan 39 km dari Ibu Kota Kabupaten. Batas administratif pemerintahan Desa Krisik meliputi: sebelah utara, berbatasan dengan Desa Pagersari Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang, sebelah barat dan selatan berbatasan dengan Desa Tulungrejo Kecamatan Gandusari Kabupaten Blitar, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Tegalsari Kecamatan Wlingi Kabupaten Blitar.

Topografi dan kontur tanah Desa Krisik merupakan persawahan dan perbukitan yang berada pada ketinggian 656-718 meter di atas permukaan laut dengan suhu udara berkisar antara 170 C-200 C.  

Berdasarkan data kependudukan tahun 2011, jumlah penduduk Desa Krisik tercatat 7.307 orang, dengan keberagaman agama, seperti: Islam, Hindu, Budha, Kristen dan Katolik. Namun demikian kehidupan  antar  umat beragama terjalin dengan harmonis, baik dalam pemerintahan desa maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Islam dan Hindu saling bekerja sama, bahu membahu dalam kehidupan sehari-hari diberbagai sektor seperti pertanian, niaga dan sektor spiritual, kearifan lokal ini dapat digunakan sebagai tauladan toleransi antar umat beragama bagi daerah-daerah lain di Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.Kearifan lokal di daerah itu masih dipertahankan hingga saat ini oleh masyarakat Desa Krisik baik oleh umat Islam maupun umat Hindu. Di Desa Krisik terdapat petilasan berupa candi dan sebuah telaga yang keberedaanya tidak terlepas dari sebuah legenda dan mitos di daerah setempat.
Rambut Monte adalah nama sebuah candi terbuat dari batu andesit dan berbentuk segi empat. Bagian yang tersisa dari Candi ini hanyalah Kamadathu atau kaki Candi dan Rupadathu atau badan Candi. Pada bagian depan candi terdapat artefak yang menyerupai Lingga Yoni, lambang kesuburan. Artefak yang menyerupai Lingga Yoni itu berukir sulur-sulur gelung.Demikian pula kepercayaan masyarakat Desa Krisik tentang ikan-ikan Senggiring yang dikeramatkan di telaga Rambut Monte, tidak terlepas dari berkembangnya legenda Mbah Rambut Monte. Konondi lokasi ini terjadi perkelahian antara Rahwana dan Naga melawan Mbah Rambut Monte, keturunan Kerajaan Majapahit. Pertarungan itu dimenangkan oleh Mbah rambut Monte. Mbah Rambut Monte kemudian mengutuk Rahwana dan Naga menjadi candi berbentuk monyet dan relief  naga. Mbah Rambut Monte berpesan kepada sejumlah muridnya agar menjaga batu candi yang berwujud Rahwana dan relief  naga. Namun karena sebagian muridnya tidak mematuhi perintahnya, Mbah Rambut Monte marah dan mengutuk murid-muridnya menjadi ikan yang mendiami telaga hingga saat ini. Dari kisah tersebut berkembanglah mitos dalam masyarakat Krisik tentang candi Rambut Monte dan ikan dewa (Senggiring) yang menjadi suatu nilai kearifan lokal yang tidak boleh dilanggar oleh masyarakat.
Dari legenda dan cerita mistis tersebut, secara turun temurun di petilasan Rambut Monte setiap Jumat Legi bulan Dulkangidah (Dzulqa’ijjah) umat Islam melakukan ritual Kekelan yaitu memberikan makan pada ikan dalam acara Bersih Desa dan Nyadran serta ritual Tirta Yatra  sebagai bagian dari ajaran Tri Hita Karana bagi umat Hindu yang dilakukan menjelang upacara Galungan dan upacara Nyepi serta dalam rangka melakukan perjalanan suci mencari sumber air suci.

Terjadinya Desa Krisik Kecamatan Gandusari Kabupaten Blitar, menurut bapak Wawan (Kepala Desa Krisik) terjadinya Desa Krisik berakar pula dari legenda Mbah Sukoboyo salah satu pengikut Pangeran Diponegoro yang melarikan diri dari kejaran tentara Belanda pasca kekalahan perang  Diponegoro pada tahun 1825-1835 dan tiba di daerah itu yang masih merupakan hutan belantara yang terkenal angker. Dalam semedinya di petilasan Rambut Monte ia berdoa secara khusuk kepada Allah, tak disadarinya pusaka kerisnya tertinggal di tempat itu. Dibantu beberapa penduduk mencari keris yang hilang, ternyata keris tersebut masih dapat diketemukan di petilasan Rambut Monte dalam keadaan utuh. Sepeninggal mbah Sukoboyo cerita tersebut menjadi bahan pembicaraan penduduk dari mulut kemulut, kata kerise isik sering diucapkan penduduk pada waktu itu, akhirnya tempat tersebut diberi nama Krisik dari kata kerise isik (jawa: kerisnya masih ada). (DSG)

0 komentar:

Posting Komentar